Oleh Sulaiman Djaya (Ketua
Pengarah Panitia PPN X Banten dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten)
Kawan-kawan para penyair
dan dewan kurator Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten yang merupakan
wakil-wakil dari para pekerja, penggerak, dan pegiat kerja-kerja dan
gerakan-gerakan kesusastraan dan kebudayaan di Asia Tenggara, wabil-khusus dari
lima negara yang menjadi peserta hajat Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X di
Banten, yaitu: Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura,
saya ingin membuka tulisan ‘pertanggungjawaban’ pemilihan tema PPN X di Banten
ini dengan sebuah puisi yang telah ditulis beberapa abad silam oleh seorang
pujangga masyhur: “Anak adam satu raga
satu jiwa, tercipta dari muasal yang sama. Jika satu anggota ummat manusia
terluka, semua akan merasa terluka. Engkau yang tak berduka atas luka manusia,
tak layak menyandang nama manusia.” (Sa’adi dari Persia)
Sesungguhnya tidak mudah
untuk menjawab pertanyaan yang menjadi tajuk tulisan ini: sebuah pertanyaan
yang memang lebih diniatkan sebagai ‘permenungan’ saya sendiri tentang apakah
sastra, utamanya puisi, memang memiliki kapasitas untuk melibatkan diri secara
politis terkait isu-isu politik global. Tetapi saya ingin memulai tentang
Suriah. Sejak tahun 2006, yang merupakan rekayasa politik Amerika dan
rekan-rekan Baratnya, benih-benih konflik di Suriah mulai merebak. Mulanya
memang hanya demonstrasi-demonstrasi yang digerakkan oleh LSM-LSM yang
‘diagitasi’ oleh Amerika dan rekan-rekan Baratnya, seperti Israel, dalam rangka
menciptakan ketidakstabilan di Suriah, yang dengan ketidakstabilan itu akan
tercipta kegoncangan pada pemerintahan Suriah. Namun, setelah itu, muncul-lah
kelompok ISIS, yang juga didanai dan diciptakan Amerika bersama rekan-rekan
Baratnya, terutama sekali Israel dan Ingris, yang menyerukan kepada ummat Islam
untuk memerangi Pemerintah Suriah.
Suriah pun bermandikan
darah selama bertahun-tahun, bahkan hingga saat ini pun, belum sepenuhnya dapat
dikatakan telah mereda. Di sini, saya ingin berbicara tentang betapa keji dan
buruknya praktek perang beserta dampaknya. Ribuan rakyat Suriah pun kemudian
mengungsi, dan cerita mereka yang menjadi para pengungsi itu tak kalah
mengenaskan dengan mereka yang menjadi korban perang di dalam negeri Suriah.
Sebelumnya hal serupa terjadi di Libya, ketika kekuatan Amerika dan aliansinya,
seperti NATO, menggempur negeri itu, yang berujung pada wafatnya Muammar
Khadafi di tangan para pemberontak Libya, yang juga lagi-lagi, didanai dan
digerakkan oleh kekuatan Amerika dan rekan Baratnya. Lalu kemudian meletus lagi
konflik dan kekerasan di Myanmar, tepatnya yang menimpa etnik Rakhine. Bukankah
hanya manusia yang tidak punya nurani dan intelek yang tak merasa prihatin
dengan penderitaan sesama manusia?
Namun saya percaya, kita
sebagai para penyair, yang dalam konteks ini adalah kawan-kawan sejawat di Asia
Tenggara, setidak-tidaknya memiliki simpati, dan kalau bisa, membuktikkan
kepedulian kita dalam bentuk aksi nyata, untuk turut menyuarakan penolakan kita
terhadap praktik-praktik kekerasan dan penindasan atas sesama manusia. Tentu
juga, saya sengaja mengawali tulisan ini dengan salah-satu puisinya Sa’adi,
pujangga masyhur dari Persia itu, karena puisi itu memang kontekstual sekali
dengan keadaan dunia dan kenyataan ‘politik global’ sekarang ini, di mana
perang yang menggunakan tekhnologi perang, justru hanya menunjukkan ‘kekejian’
dan ‘kebiadaban’ manusia yang ternyata melampaui binatang yang mereka
konotasikan dengan keburukan. Sa’adi, tentu juga, tak sekadar menulis puisi,
tapi lebih dari itu, ia adalah filsuf, seorang pujangga, yang telah menyadarkan
kita bagaimana menjadi manusia, menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya.
Tak hanya Suriah, Libya,
dan Rakhine, tetapi juga Yaman yang mengalami nasib serupa: digempur dan
diperangi oleh ‘Blok Barat’, ketika Amerika dan Israel menggunakan aliansi
kekuatan Rezim Saudi untuk ‘menghancurkan’ Yaman, dan ummat Islam diadu-domba,
mulai dari isu sektarian yang disebarkan melalui media-media propaganda Amerika
dan rekan-rekan Baratnya, hingga ‘agama’ yang dijadikan legitimasi penghasutan
untuk upaya proxy war, semisal dengan isu Syi’ah-Sunni. Sungguh kita hidup di
mana media dan bahasa telah dijadikan alat ‘pemuas’ demi keuntungan
konglomerasi dan ambisi-ambisi kekuasaan mereka yang menghalalkan darah
ditumpahkan demi tercapainya tujuan dan target ekonomi-politik mereka. Di
Suriah, sebagai contoh, dihembuskan dengan sedemikian kencang fitnah-fitnah
sektarian agar terjadi benturan dan perang di antara sesama rakyat Suriah,
selain orang-orang non Suriah, semisal anggota-anggota ISIS dari ragam negara
Eropa dan kawasan lainnya, yang sengaja didatangkan untuk membuat kekacauan di
Suriah.
Kita percaya, kepenyairan
tak dapat dilepaskan dari sikap kita pada hidup dan kehidupan, sebagai bentuk
komitmen kita kepada sejarah dan kemanusiaan. Dan karena komitmen kita pada
sejarah dan kemanusiaan itulah, kita pun tak dapat menafikan konektivitas dan
solidaritas kita kepada sesama manusia di segala penjuru bumi, yang salah-satu
bagian bumi itu menjadi tempat kita hidup, mencari nafkah, dan tentu saja
menulis puisi. Di tengah merebaknya konflik, kekerasan, dan
perang di sejumlah negara dan kawasan seperti yang telah disebutkan, sudah
sepatutnya mendapatkan empati, kepedulian, dan sikap dari kita sebagai penyair.
Sesungguhnya puisi dapat menjadi media dan jembatan yang strategis untuk
menyuarakan pandangan dan kepedulian kita untuk menyikapi sejumlah konflik dan
perang di belahan dunia ini dalam rangka mengumandangkan welas-asih dan
melantangkan suara-suara kemanusiaan. Kita perlu menyuarakan keprihatinan dan
sikap kita terhadap banyak kekerasan dan perang.
Terkait hal itu, saya
hendak memberikan ilustrasi kedua, sekedar sebagai peminjaman perspektif sikap
dan wawasan. Sebelum meninggal, Annemarie Schimmel menulis puisi (yang mirip
dengan puisinya W.B. Yeats yang berjudul Aedh Menggelar Kain dari Surga): “Sang
pencinta, menenun satin dan brokat dari air mata, duhai sahabat, agar dapat
menghamparkannya suatu hari, di bawah telapak kakimu...dan aku menenun sutera
kata-kata yang selalu baru hanya untuk menyembunyikanmu.” Tepat sekali
sebagaimana ilustrasi di atas, bahwa bahasa, dapat melahirkan kebajikan
sekaligus dapat dijadikan sebagai senjata keburukan, semisal dapat digunakan
untuk mengungkapkan cinta dan persahabatan sekaligus dapat digunakan untuk
menyebar fitnah dan dusta.
Di musim semi 1996,
Annemarie Schimmel sang sarjana berdedikasi dan perempuan berjiwa pejuang,
perempuan berperawakan mungil itu, menjadi satu-satunya pusat perhatian dalam
pertemuan yang dihadiri para penulis, penerbit, dan pejabat tinggi Jerman,
termasuk Presiden Roman Herzog. Saat itu ia berbicara tentang kata. "Kata yang baik laksana pohon yang baik...”,
demikian dia mengutip Al-Quran. "Kata diyakini sebagai suatu kekuatan
kreatif oleh sebagian besar agama di dunia; katalah yang mengantarkan wahyu;
kata diamanahkan kepada umat manusia sebagai titipan yang harus dijaga, jangan
sampai ada yang teraniaya, terfitnah, atau terbunuh oleh kata-kata,"
demikian paparnya.
"Kata memiliki
kekuatan yang tak dapat kita ukur. Dan pada kekuatan kata inilah terletak
tanggung jawab para penyair, lebih-lebih lagi para penerjemah, karena satu
kesalahan samar saja dapat memicu kesalahpahaman yang berbahaya." Betapa
bahasa, yang didalamnya adalah puisi, dalam kehidupan manusia adalah ‘ruh’ dan
‘jiwa’ kehidupan manusia itu sendiri, dan karena itu pula betapa pentingnya
‘bahasa’ dan kata-kata dijaga dari upaya-upaya untuk menjadikannya sebagai alat
destruksi dan menjadi media-media kezaliman dan praktik-praktik tidak kreatif
yang akan ‘melukai’ kemanusiaan manusia. Secara khusus, kita perlu mendorong
para pemimpin di Asia Tenggara untuk berada di garda depan dalam mengupayakan
TERCIPTANYA PERDAMAIAN DUNIA. Inilah dasar ditetapkannya tema PUISI UNTUK
PERDAMAIAN DUNIA di perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X di Banten,
Indonesia, 15-17 Desember 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar