KENAPA PUISI UNTUK
PERDAMAIAN DUNIA?
Kenapa Puisi untuk
Perdamaian Dunia? Sesungguhnya tidak mudah untuk menjawab pertanyaan yang
menjadi tajuk tulisan ini: sebuah pertanyaan yang memang lebih diniatkan
sebagai ‘permenungan’ saya sendiri tentang apakah sastra, utamanya puisi,
memang memiliki kapasitas untuk melibatkan diri secara politis terkait isu-isu
politik global. Tetapi saya ingin memulai tentang Suriah. Sejak tahun 2006,
yang merupakan rekayasa politik Amerika dan rekan-rekan Baratnya, benih-benih
konflik di Suriah mulai merebak. Mulanya memang hanya demonstrasi-demonstrasi
yang digerakkan oleh LSM-LSM yang ‘diagitasi’ oleh Amerika dan rekan-rekan
Baratnya, seperti Israel, dalam rangka menciptakan ketidakstabilan di Suriah,
yang dengan ketidakstabilan itu akan tercipta kegoncangan pada pemerintahan
Suriah. Namun, setelah itu, muncul-lah kelompok ISIS, yang juga didanai dan
diciptakan Amerika bersama rekan-rekan Baratnya, terutama sekali Israel dan
Ingris, yang menyerukan kepada ummat Islam untuk memerangi Pemerintah Suriah.
Suriah pun bermandikan
darah selama bertahun-tahun, bahkan hingga saat ini pun, belum sepenuhnya dapat
dikatakan telah mereda. Di sini, saya ingin berbicara tentang betapa keji dan
buruknya praktek perang beserta dampaknya. Ribuan rakyat Suriah pun kemudian
mengungsi, dan cerita mereka yang menjadi para pengungsi itu tak kalah
mengenaskan dengan mereka yang menjadi korban perang di dalam negeri Suriah.
Sebelumnya hal serupa terjadi di Libya, ketika kekuatan Amerika dan aliansinya,
seperti NATO, menggempur negeri itu, yang berujung pada wafatnya Muammar
Khadafi di tangan para pemberontak Libya, yang juga lagi-lagi, didanai dan
digerakkan oleh kekuatan Amerika dan rekan Baratnya. Lalu kemudian meletus lagi
konflik dan kekerasan di Myanmar, tepatnya yang menimpa etnik Rakhine. Bukankah
hanya manusia yang tidak punya nurani dan intelek yang tak merasa prihatin
dengan penderitaan sesama manusia?
Namun saya percaya, kita
sebagai para penyair, yang dalam konteks ini adalah kawan-kawan sejawat di Asia
Tenggara, setidak-tidaknya memiliki simpati, dan kalau bisa, membuktikkan
kepedulian kita dalam bentuk aksi nyata, untuk turut menyuarakan penolakan kita
terhadap praktik-praktik kekerasan dan penindasan atas sesama manusia. Tentu
juga, saya sengaja mengawali tulisan ini dengan salah-satu puisinya Sa’adi,
pujangga masyhur dari Persia itu, karena puisi itu memang kontekstual sekali
dengan keadaan dunia dan kenyataan ‘politik global’ sekarang ini, di mana
perang yang menggunakan tekhnologi perang, justru hanya menunjukkan ‘kekejian’
dan ‘kebiadaban’ manusia yang ternyata melampaui binatang yang mereka
konotasikan dengan keburukan. Sa’adi, tentu juga, tak sekadar menulis puisi,
tapi lebih dari itu, ia adalah filsuf, seorang pujangga, yang telah menyadarkan
kita bagaimana menjadi manusia, menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya.
Tak hanya Suriah, Libya,
dan Rakhine, tetapi juga Yaman yang mengalami nasib serupa: digempur dan
diperangi oleh ‘Blok Barat’, ketika Amerika dan Israel menggunakan aliansi
kekuatan Rezim Saudi untuk ‘menghancurkan’ Yaman, dan ummat Islam diadu-domba,
mulai dari isu sektarian yang disebarkan melalui media-media propaganda Amerika
dan rekan-rekan Baratnya, hingga ‘agama’ yang dijadikan legitimasi penghasutan
untuk upaya proxy war, semisal dengan isu Syi’ah-Sunni. Sungguh kita hidup di
mana media dan bahasa telah dijadikan alat ‘pemuas’ demi keuntungan
konglomerasi dan ambisi-ambisi kekuasaan mereka yang menghalalkan darah
ditumpahkan demi tercapainya tujuan dan target ekonomi-politik mereka. Di
Suriah, sebagai contoh, dihembuskan dengan sedemikian kencang fitnah-fitnah
sektarian agar terjadi benturan dan perang di antara sesama rakyat Suriah,
selain orang-orang non Suriah, semisal anggota-anggota ISIS dari ragam negara
Eropa dan kawasan lainnya, yang sengaja didatangkan untuk membuat kekacauan di
Suriah.
Kita percaya, kepenyairan
tak dapat dilepaskan dari sikap kita pada hidup dan kehidupan, sebagai bentuk
komitmen kita kepada sejarah dan kemanusiaan. Dan karena komitmen kita pada
sejarah dan kemanusiaan itulah, kita pun tak dapat menafikan konektivitas dan
solidaritas kita kepada sesama manusia di segala penjuru bumi, yang salah-satu
bagian bumi itu menjadi tempat kita hidup, mencari nafkah, dan tentu saja
menulis puisi. Di tengah merebaknya
konflik, kekerasan, dan perang di sejumlah negara dan kawasan seperti yang
telah disebutkan, sudah sepatutnya mendapatkan empati, kepedulian, dan sikap
dari kita sebagai penyair. Sesungguhnya puisi dapat menjadi media dan jembatan
yang strategis untuk menyuarakan pandangan dan kepedulian kita untuk menyikapi
sejumlah konflik dan perang di belahan dunia ini dalam rangka mengumandangkan
welas-asih dan melantangkan suara-suara kemanusiaan. Kita perlu menyuarakan
keprihatinan dan sikap kita terhadap banyak kekerasan dan perang.
Terkait hal itu, saya
hendak memberikan ilustrasi kedua, sekedar sebagai peminjaman perspektif sikap
dan wawasan. Sebelum meninggal, Annemarie Schimmel menulis puisi (yang mirip
dengan puisinya W.B. Yeats yang berjudul Aedh Menggelar Kain dari Surga): “Sang
pencinta, menenun satin dan brokat dari air mata, duhai sahabat, agar dapat
menghamparkannya suatu hari, di bawah telapak kakimu...dan aku menenun sutera
kata-kata yang selalu baru hanya untuk menyembunyikanmu.” Tepat sekali
sebagaimana ilustrasi di atas, bahwa bahasa, dapat melahirkan kebajikan
sekaligus dapat dijadikan sebagai senjata keburukan, semisal dapat digunakan
untuk mengungkapkan cinta dan persahabatan sekaligus dapat digunakan untuk
menyebar fitnah dan dusta.
Di musim semi 1996,
Annemarie Schimmel sang sarjana berdedikasi dan perempuan berjiwa pejuang,
perempuan berperawakan mungil itu, menjadi satu-satunya pusat perhatian dalam
pertemuan yang dihadiri para penulis, penerbit, dan pejabat tinggi Jerman,
termasuk Presiden Roman Herzog. Saat itu ia berbicara tentang kata. "Kata
yang baik laksana pohon yang baik...”, demikian dia mengutip Al-Quran.
"Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di
dunia; katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia
sebagai titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada yang teraniaya, terfitnah,
atau terbunuh oleh kata-kata," demikian paparnya.
"Kata memiliki
kekuatan yang tak dapat kita ukur. Dan pada kekuatan kata inilah terletak
tanggung jawab para penyair, lebih-lebih lagi para penerjemah, karena satu
kesalahan samar saja dapat memicu kesalahpahaman yang berbahaya." Betapa
bahasa, yang didalamnya adalah puisi, dalam kehidupan manusia adalah ‘ruh’ dan
‘jiwa’ kehidupan manusia itu sendiri, dan karena itu pula betapa pentingnya
‘bahasa’ dan kata-kata dijaga dari upaya-upaya untuk menjadikannya sebagai alat
destruksi dan menjadi media-media kezaliman dan praktik-praktik tidak kreatif
yang akan ‘melukai’ kemanusiaan manusia. Secara khusus, kita perlu mendorong
para pemimpin di Asia Tenggara untuk berada di garda depan dalam mengupayakan
TERCIPTANYA PERDAMAIAN DUNIA. Inilah dasar ditetapkannya tema PUISI UNTUK
PERDAMAIAN DUNIA di perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X di Banten,
Indonesia, 15-17 Desember 2017.
Salam dan terimakasih!
Sulaiman Djaya, Ketua Panitia
Pengarah PPN X Banten dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten