Selasa, 30 Januari 2018

Akhir Januari



Butir-butir gerimis adalah kanak-kanak sepi:
Usia yang hilang bersama sorehari.
Betapa dekat aku kepada mautku
Bila umurku nanti adalah sunyi
Yang bertamu
Di beranda dua matamu.

Dingin adalah matahati
Pikiran yang letih. Jauh sekali
Mataku menerka rapih
Gerak lembut gugusan rambutmu.
Daun-daun bergetar seperti kekal abadi
Teka-teki takdir

Yang selalu luput kutulis
Dan tak pernah dapat kupahami.
Burung-burung terbang dalam basah
Cakrawala padam
Ketakmengertianku menyelami bahasa.
Dan misalkan hidup tak lebih

Mesin hitung yang rusak
Adakah aku akan jadi mengetahui
Nama-nama Tuhan 
Yang tak termaktub di kitab-kitab suci?
Adakah sujudku
kepada kematianku sendiri

Adalah penebusan ketakpahamanku
Pada kuasa Tuhan?
Butir-butir gerimis adalah rimbun mautku
Menandur umur di kekal waktu
Yang tak dapat kau hitung
Seperti rinduku pada kegembiraanmu.  

(2018) 


Minggu, 28 Januari 2018

GESIT #12 DKB dan BI


Konser dan Talkshow Terebang Rampak dan Terebang Gembrung Gerakan Seni Tradisional (GESIT) Dewan Kesenian Banten (DKB) dan Bank Indonesia (BI) 28 Januari 2018 Alun-alun Barat Kota Serang, Banten oleh Sanggar Saung Ki Laksa dan Sanggar Mayangsari

Sinopsis
Berbicara tentang musik adalah juga berbicara tentang upaya manusia menerjemahkan keberadaan mereka. Secara historis dan kultural, musik dan agama ada bersama dengan kehadiran manusia itu sendiri dalam kehidupan. Manusia, dalam kehidupan dan keseharian mereka, senantiasa melakukan tafsir artistik dan estetik dalam rangka mengafirmasi dan melegitimasi kebutuhan badani dan rohani mereka, termasuk di dalamnya menjadi media untuk mencapai kesalehan dan kedekatan dengan yang Maha Kuasa.

Dulu kala, musik tak terpisahkan dengan praktik-praktik dan ritus-ritus keagamaan, dipraktikkan dan dipentaskan dalam upacara-upacara dan ritual-ritual keagamaan. Secara historis dan kultural, Islam sendiri memberikan ‘makna’ dan ‘tafsir’ baru bagi musik, diabdikan untuk tujuan-tujuan sakral dan maksud-maksud yang sifatnya religius, seperti tembang-tembang yang menyenandungkan sholawat dan pujian, dengan iringan instrumen-instrumen musik tertentu.

Hingga, seperti kita kenal sekarang, Islam datang dan Bangsa Persia membuatnya sebagai gerakan intelektual dan artistik, dan melahirkan Qiroah Shab’ah. Memang, haruslah diakui pula, dalam dunia dan sejarah Islam, sikap dan pandangan terhadap musik memiliki ragam varian, dari mulai yang ekstrem hingga yang moderat. Kelompok ekstrem ‘mengharamkan’ musik, sedangkan yang moderat terbagi antara membolehkan dan menganggapnya sebagai makruh.

Meski senantiasa berada dalam polemik, perkembangan musik dalam sejarah Islam tidak pernah mati, malah memberikan warisan dan pengaruh bagi musik dunia, semisal kepada Eropa ketika Islam hadir di Peninsula Iberica.

Dunia Islam pun dikenal sebagai penemu sejumlah instrumen musik, semisal Gitar dan sejumlah instrumen musik petik (senar) lainnya. Tentu juga instrumen-instrumen perkusi. Bahkan Dunia Islam pula yang mempraktikkan musik sebagai terapi dan pengobatan, seperti yang dilakukan oleh Al-Kindi, Ibn Sina, dan Al-Farabi. Nama filsuf yang terakhir dikenal sebagai praktisi dan teoritikus musik dunia, yang risalah-risalahnya tentang musik menginspirasi para sarjana dan para komposer dunia, terutama sekali di Dunia Eropa.

Di Indonesia sendiri, yang ketika hadirnya Islam menjadi semacam terminal perlintasan ragam budaya dan adaptasinya dengan khazanah lokal Indonesia, telah melahirkan jenis dan gagrak tersendiri, semacam hibrida, termasuk musik-musik Religius Islam di Banten. Teks: Sulaiman Djaya. Fotografer: Indra Kesuma






 Sanggar Mayangsari.

 Saung Ki Laksa.



 Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Banten: Purwo Rubiono.
 Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten: Sulaiman Djaya.
 MC dan Fotomodel: Mariska Damayanti bersama Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten: Sulaiman Djaya.
 Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten: Sulaiman Djaya.



Minggu, 21 Januari 2018

Kenapa Puisi untuk Perdamaian Dunia?


KENAPA PUISI UNTUK PERDAMAIAN DUNIA?

Kenapa Puisi untuk Perdamaian Dunia? Sesungguhnya tidak mudah untuk menjawab pertanyaan yang menjadi tajuk tulisan ini: sebuah pertanyaan yang memang lebih diniatkan sebagai ‘permenungan’ saya sendiri tentang apakah sastra, utamanya puisi, memang memiliki kapasitas untuk melibatkan diri secara politis terkait isu-isu politik global. Tetapi saya ingin memulai tentang Suriah. Sejak tahun 2006, yang merupakan rekayasa politik Amerika dan rekan-rekan Baratnya, benih-benih konflik di Suriah mulai merebak. Mulanya memang hanya demonstrasi-demonstrasi yang digerakkan oleh LSM-LSM yang ‘diagitasi’ oleh Amerika dan rekan-rekan Baratnya, seperti Israel, dalam rangka menciptakan ketidakstabilan di Suriah, yang dengan ketidakstabilan itu akan tercipta kegoncangan pada pemerintahan Suriah. Namun, setelah itu, muncul-lah kelompok ISIS, yang juga didanai dan diciptakan Amerika bersama rekan-rekan Baratnya, terutama sekali Israel dan Ingris, yang menyerukan kepada ummat Islam untuk memerangi Pemerintah Suriah.

Suriah pun bermandikan darah selama bertahun-tahun, bahkan hingga saat ini pun, belum sepenuhnya dapat dikatakan telah mereda. Di sini, saya ingin berbicara tentang betapa keji dan buruknya praktek perang beserta dampaknya. Ribuan rakyat Suriah pun kemudian mengungsi, dan cerita mereka yang menjadi para pengungsi itu tak kalah mengenaskan dengan mereka yang menjadi korban perang di dalam negeri Suriah. Sebelumnya hal serupa terjadi di Libya, ketika kekuatan Amerika dan aliansinya, seperti NATO, menggempur negeri itu, yang berujung pada wafatnya Muammar Khadafi di tangan para pemberontak Libya, yang juga lagi-lagi, didanai dan digerakkan oleh kekuatan Amerika dan rekan Baratnya. Lalu kemudian meletus lagi konflik dan kekerasan di Myanmar, tepatnya yang menimpa etnik Rakhine. Bukankah hanya manusia yang tidak punya nurani dan intelek yang tak merasa prihatin dengan penderitaan sesama manusia?

Namun saya percaya, kita sebagai para penyair, yang dalam konteks ini adalah kawan-kawan sejawat di Asia Tenggara, setidak-tidaknya memiliki simpati, dan kalau bisa, membuktikkan kepedulian kita dalam bentuk aksi nyata, untuk turut menyuarakan penolakan kita terhadap praktik-praktik kekerasan dan penindasan atas sesama manusia. Tentu juga, saya sengaja mengawali tulisan ini dengan salah-satu puisinya Sa’adi, pujangga masyhur dari Persia itu, karena puisi itu memang kontekstual sekali dengan keadaan dunia dan kenyataan ‘politik global’ sekarang ini, di mana perang yang menggunakan tekhnologi perang, justru hanya menunjukkan ‘kekejian’ dan ‘kebiadaban’ manusia yang ternyata melampaui binatang yang mereka konotasikan dengan keburukan. Sa’adi, tentu juga, tak sekadar menulis puisi, tapi lebih dari itu, ia adalah filsuf, seorang pujangga, yang telah menyadarkan kita bagaimana menjadi manusia, menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya.

Tak hanya Suriah, Libya, dan Rakhine, tetapi juga Yaman yang mengalami nasib serupa: digempur dan diperangi oleh ‘Blok Barat’, ketika Amerika dan Israel menggunakan aliansi kekuatan Rezim Saudi untuk ‘menghancurkan’ Yaman, dan ummat Islam diadu-domba, mulai dari isu sektarian yang disebarkan melalui media-media propaganda Amerika dan rekan-rekan Baratnya, hingga ‘agama’ yang dijadikan legitimasi penghasutan untuk upaya proxy war, semisal dengan isu Syi’ah-Sunni. Sungguh kita hidup di mana media dan bahasa telah dijadikan alat ‘pemuas’ demi keuntungan konglomerasi dan ambisi-ambisi kekuasaan mereka yang menghalalkan darah ditumpahkan demi tercapainya tujuan dan target ekonomi-politik mereka. Di Suriah, sebagai contoh, dihembuskan dengan sedemikian kencang fitnah-fitnah sektarian agar terjadi benturan dan perang di antara sesama rakyat Suriah, selain orang-orang non Suriah, semisal anggota-anggota ISIS dari ragam negara Eropa dan kawasan lainnya, yang sengaja didatangkan untuk membuat kekacauan di Suriah.

Kita percaya, kepenyairan tak dapat dilepaskan dari sikap kita pada hidup dan kehidupan, sebagai bentuk komitmen kita kepada sejarah dan kemanusiaan. Dan karena komitmen kita pada sejarah dan kemanusiaan itulah, kita pun tak dapat menafikan konektivitas dan solidaritas kita kepada sesama manusia di segala penjuru bumi, yang salah-satu bagian bumi itu menjadi tempat kita hidup, mencari nafkah, dan tentu saja menulis puisi.   Di tengah merebaknya konflik, kekerasan, dan perang di sejumlah negara dan kawasan seperti yang telah disebutkan, sudah sepatutnya mendapatkan empati, kepedulian, dan sikap dari kita sebagai penyair. Sesungguhnya puisi dapat menjadi media dan jembatan yang strategis untuk menyuarakan pandangan dan kepedulian kita untuk menyikapi sejumlah konflik dan perang di belahan dunia ini dalam rangka mengumandangkan welas-asih dan melantangkan suara-suara kemanusiaan. Kita perlu menyuarakan keprihatinan dan sikap kita terhadap banyak kekerasan dan perang.

Terkait hal itu, saya hendak memberikan ilustrasi kedua, sekedar sebagai peminjaman perspektif sikap dan wawasan. Sebelum meninggal, Annemarie Schimmel menulis puisi (yang mirip dengan puisinya W.B. Yeats yang berjudul Aedh Menggelar Kain dari Surga): “Sang pencinta, menenun satin dan brokat dari air mata, duhai sahabat, agar dapat menghamparkannya suatu hari, di bawah telapak kakimu...dan aku menenun sutera kata-kata yang selalu baru hanya untuk menyembunyikanmu.” Tepat sekali sebagaimana ilustrasi di atas, bahwa bahasa, dapat melahirkan kebajikan sekaligus dapat dijadikan sebagai senjata keburukan, semisal dapat digunakan untuk mengungkapkan cinta dan persahabatan sekaligus dapat digunakan untuk menyebar fitnah dan dusta.

Di musim semi 1996, Annemarie Schimmel sang sarjana berdedikasi dan perempuan berjiwa pejuang, perempuan berperawakan mungil itu, menjadi satu-satunya pusat perhatian dalam pertemuan yang dihadiri para penulis, penerbit, dan pejabat tinggi Jerman, termasuk Presiden Roman Herzog. Saat itu ia berbicara tentang kata. "Kata yang baik laksana pohon yang baik...”, demikian dia mengutip Al-Quran. "Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di dunia; katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia sebagai titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada yang teraniaya, terfitnah, atau terbunuh oleh kata-kata," demikian paparnya.

"Kata memiliki kekuatan yang tak dapat kita ukur. Dan pada kekuatan kata inilah terletak tanggung jawab para penyair, lebih-lebih lagi para penerjemah, karena satu kesalahan samar saja dapat memicu kesalahpahaman yang berbahaya." Betapa bahasa, yang didalamnya adalah puisi, dalam kehidupan manusia adalah ‘ruh’ dan ‘jiwa’ kehidupan manusia itu sendiri, dan karena itu pula betapa pentingnya ‘bahasa’ dan kata-kata dijaga dari upaya-upaya untuk menjadikannya sebagai alat destruksi dan menjadi media-media kezaliman dan praktik-praktik tidak kreatif yang akan ‘melukai’ kemanusiaan manusia. Secara khusus, kita perlu mendorong para pemimpin di Asia Tenggara untuk berada di garda depan dalam mengupayakan TERCIPTANYA PERDAMAIAN DUNIA. Inilah dasar ditetapkannya tema PUISI UNTUK PERDAMAIAN DUNIA di perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X di Banten, Indonesia, 15-17 Desember 2017.

Salam dan terimakasih!
Sulaiman Djaya, Ketua Panitia Pengarah PPN X Banten dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten 


Selasa, 16 Januari 2018

14 Foto Terbaik Fotografer Dewan Kesenian Banten

Banten Gawe Art #2 Dewan Kesenian Banten oleh Akbar Fida Ismail (2017). 
Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten oleh Ade Wahyu (2017) 
 Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten oleh Ade Wahyu (2017)
Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten oleh Ade Wahyu (2017) 
Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten oleh Indra Kesuma (2018) 
Banten Gawe Art #2 Dewan Kesenian Banten oleh Akbar Fida Ismail (2017) 
 Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten oleh Akbar Fida Ismail (2018)
 Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten oleh Akbar Fida Ismail (2018)
 Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten oleh Akbar Fida Ismail (2018)
 Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten oleh Akbar Fida Ismail (2018)
 Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten oleh Akbar Fida Ismail (2018)
 Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten oleh Akbar Fida Ismail (2018)
 Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten oleh Akbar Fida Ismail (2018)
Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten oleh Akbar Fida Ismail (2018)

Rabu, 10 Januari 2018

Gala Dinner PPN X Banten

 Suasana ramah dan intim para peserta Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten 15-17 Desember 2017 saat menikmati jamuan makan malam yang disediakan panitia penyelenggara jelang Malam Pembukaan PPN X Banten.