Senin, 18 Desember 2017

Puisi, Perdamaian, dan Perlawanan



oleh Ahmadun Yosi Herfanda, Penyair Indonesia

Sudah lama diyakini bahwa sastra, karya sastra, memiliki peran dan fungsi strategis sebagai wahana pendidikan dan pewarisan nilai bagi masyarakat, termasuk nilai-nilai toleransi dan pentingnya menciptakan peri kehidupan yang damai dan sejahtera di tengah masyarakat.  Di dalam karya sastra, yang ditulis oleh bangsa manapun, terkandung nilai-nilai budaya dan berbagai kearifan hidup suatu bangsa yang mengajak pembacanya untuk dapat hidup berdampingan secara damai.

Dalam situasi normal, dalam situasi damai dan berkeadilan, tidak ada karya sastra yang mengajak pembacanya untuk hidup bermusuhan atau mengobarkan perang. Karya sastra yang bernada melawan, atau sastra perlawanan, hanya muncul dalam situasi yang abnormal, ketika suatu kelompok masyarakat ditindas oleh kelompok lain, atau ketika suatu bangsa dijajah dan ditindas oleh bangsa lain. Sastra perlawanan muncul untuk melawan penindasan dan penjajahan. Penyair-penyair Palestina, seperti Ibrahim Touqan, Fatwa Tuqan dan Mahmoud Darwis, misalnya, menulis sajak-sajak perlawanan untuk menghadapi Israel yang menjajah tanah air mereka. Penyair Indonesia, seperti Chairil Anwar, juga menulis sajak yang bernada perlawanan terhadap Belanda, seperti “Diponegoro”. Coba kita baca cuplikan sajak Mahmoud Darwis berikut ini:

Pemuda tidak pernah lelah
Tujuan mereka adalah kemerdekaan
Atau mereka mati
Kami akan minum dari kematian
Karena kami tidak akan
menjadi hamba bagi musuh
Kami tidak ingin
Kehinaan abadi
Maupun kehidupan menyedihkan
Kami tidak ingin
Tapi kami akan kembali
Kepada kemuliaan
Tanah airku.

Bagi Zionis Israel tentu puisi tersebut dianggap berbahaya. Begitu juga penyairnya. Bahkan Mosye Dayan pernah mengatakan bahwa satu puisi patriotik penyair Palestina lebih berbahaya daripada satu resimen pejuang Palestina. Sebab, satu resimen pejuang Palestina dengan mudah dapat dihabisi oleh tentara Israel yang persenjataannya lebih lengkap. Sedangkan puisi patriotik, jika menyebar di kalangan rakyat Palestina, akan membangkitkan semangat perlawanan yang sulit dibendung oleh Israel.  Benar kata JL Morino, bahwa satu puisi patriotik dapat melahirkan seribu perbuatan heroik.

Pesan Karya Sastra
Dalam situasi normal, karya sastra lebih banyak membawa pesan kemanusiaan, kedamaian, cinta dan kasih sayang. Melalui karya sastra nilai-nilai budaya bangsa, terutama nilai-nilai toleransi dan ajakan hidup damai, dibaca dan ditafsirkan kembali guna disampaikan kepada masyarakat untuk dihayati ajakan-ajakan kemuliaannya. Karena itu, antara lain melalui karya sastra fondasi kebudayaan suatu bangsa, termasuk fondasi peri kehidupan yang damai, penuh toleransi, dan berkeadilan, dapat dibangun.

Merujuk pada  Abrams,[1] salah satu orientasi penciptaan karya sastra memang untuk tujuan non-literer, yakni sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya, seperti penyebaran nilai-nilai atau faham tertentu, seperti penyebaran nilai-nilai agama (sastra dakwah), pengentalan nilai-nilai nasionalisme suatu bangsa seperti dicontohkan Mohamad Yamin[2], atau bahkan penyebaran isme yang radikal seperti ditunjukkan oleh sastrawan Lekra[3]. Coba kita simak salah satu sajak Moh. Yamin berikut ini.

INDONESIA TUMPAH DARAHKU
Bersatu kita teguh
Bercerai kita runtuh
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-cerai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejar bumi ayah dan ibu
Indonesia namanya. Tanah airku
Tanahku bercerai seberang-menyeberang
Merapung di air, malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang
Sejak malam diberi kelam
Sampai purnama terang-benderang
Di sanalah bangsaku gerangan menompang
Selama berteduh di alam nan lapang
Tumpah darah Nusa India
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di Indonesia

Puisi Yamin tersebut diyakini menjadi salah satu sumber inspirasi yang menyadarkan kaum terpelajar ketika itu tentang pentingnya memiliki satu Tanah Air yang merdeka dan berdaulat. Puisi itu ikut mendorong lahirnya pergerakan nasional yang mengental pada Kebangkitan Nasional, menyimpul pada Sumpah Pemuda, dan memuncak pada proklamasi kemerdekaan. Bagi penjajah Belanda, tentu itu adalah ancaman yang mungkin harus diperangi, bukan diberi jabat tangan damai. Itulah puisi. Kekuatan sugestifnya dapat dimanfaatkan untuk ajakan damai, sebaliknya dapat juga memicu perlawanan (perang) terhadap para penindas atau penjajah.

Kekuatan Tersembunyi
Puisi memiliki bahasa ungkapnya sendiri. Bahasa adalah sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, akan memiliki kekuatan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran pembacanya.  Puisi yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, mengajarkan pentingnya kedamaian, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama.

Di dalam puisi, juga karya-karya sastra genre apapun yang unggul, terkandung nilai-nilai positif, sejak nilai-nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama. Sastra adalah sumber nilai kedua setelah agama. Kaum romantik bahkan meyakini bahwa karya sastra mengandung pesan kebenaran yang setara dengan kitab suci. Setidaknya, filosof Aristoteles menyejajarkan sastra, khususnya puisi, dengan filsafat (konsep tentang kebijaksanaan hidup).

Sastra juga potensial untuk hadir secara lebih filosofis dibanding sejarah. Sebab, sejarah hanya mencatat kejadian atau peristiwa terpenting yang kasat mata dan berpusat pada kekuasaan. Sedangkan sastra dapat mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik peristiwa, termasuk tersembunyi di dalam batin manusia (para pelaku sejarah), sekaligus ”meramal” apa yang bakal terjadi di masa depan. Sebut saja ”ramalan” sekaligus peringatan tentang zaman edan dalam ”Serat Kalathida” karya Ranggawarsita, yang tetap relevan hingga sekarang – terjemahan bebasnya sbb:

Hidup di zaman edan,
gelap jiwa bingung pikiran
turut edan hati tak tahan
jika tak turut edan
batin merana dan penasaran
tertindas dan kelaparan
tapi janji Tuhan sudah pasti
seuntung apa pun orang yang lupa daratan
lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.

Dengan begitu, puisi, karya sastra, tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri (batin) pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu sumber inspirasi, pencerahan, sekaligus agen perubahan sosial, dan pengingat agar manusia tidak gampang lupa daratan. Kemampuan seseorang untuk menahan diri, untuk tidak lupa daratan, tidak serakah, tidak menindas, tidak main paksa, tidak melakukan kekerasan, merupakan unsur penting guna menciptakan peri kehidupan yang damai dan berkeadilan.

Sang Pembela
Puisi juga sering muncul sebagai Sang Pembela. Ketika kaum Rohingya diusir dari kampung halaman mereka, diburu, dan dibunuhi; puisi pun hadir untuk menyuarakan perlawanan terhadap penindas dan membela kaum Rohingnya. Sajak-sajak pembelaan terhadap kaum Rohingya ditulis di mana-mana, diterbitkan, dan dibacakan di panggung. Meskipun semangatnya melawan, goal-nya adalah perdamaian, yakni agar masalah Rohingya diselesaikan secara damai, dan kekerasan terhadap mereka dihentikan. Agar, kaum Rohingya dapat kembali ke kampung halaman mereka dan dapat hidup secara damai.

Begitulah. Situasi damai kadang-kadang harus diciptakan dengan perlawanan, atau bahkan perang, ketika perdamaian diusik oleh para penjahat politik atau penjahat kemanusiaan. Kaum intifadah di Palestina siap berperang dan menulis sajak-sajak perlawanan, agar Israel meninggalkan Tanah Air warga Palestina, dan tercipta perdamaian di sana. Puisi memang hanya rangkaian kata. Tapi, ingat: kekuatan kata mampu mengubah dunia!

Pamulang, Desember 2017

Daftar Pustaka:
Abrams, MH, A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, 1981.
Hasanuddin WS, Prof. Dr., dkk., Leksikon Sastra Indonesia, Titian Ilmu, Bandung, 2008.
Herfanda, Ahmadun Yosi, “Sastra dan Pembentukan Karakter Bangsa”, makalah untuk Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia, di Universitas Brawijaya, Malang, 22 Desember 2012.
Herfanda, Ahmadun Yosi, “Antara Kecendekiaan dan Budaya Berkarya”, makalah untuk Simposium Pemberdayaan Ummat, ICMI Orsat Kairo, di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Al-Azhar, Kairo, 19 April 2002.
Heryanto. Ariel, MA, Perdebatan Sastra Kontekstual, Penerbit Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1985.
Rendra, “Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu”, teks pidato saat menerima gelar Doktor Honoris Causa, di UGM, 4 Maret 2008.



[1] Abrams, M.H., A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, 1981.
[2] Sajak-sajak Moh. Yamin dipercayai menjadi sumber inspirasi bagi menguatnya rasa kebangsaan kaum terpelajar Indonesia yang kemudian mendorong lahirnya Sumpah Pemuda.
[3] Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) adalah lembaga kesenian milik Partai Komunis Indonesia (PKI) yang cenderung beraliran kiri radikal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar