Waktu : 16 Desember 2017
pukul 13.30-15.30 WIB
Tempat : Museum Negeri Provinsi
Banten
Pemateri:
Shamsuddin Othman
(Malaysia)
Syarifah Yatiman
(Singapura)
Mahroso Doloh (Thailand)
Sheikh Mansor (Brunei
Darussalam)
Nuruddin Asyhadie
(Indonesia)
Ahmadun Yosi Herfanda
(Indonesia)
Moderator:
Sulaiman Djaya (Banten)
Kepada yang terhormat para
narasumber Simposium Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten: “PUISI UNTUK
PERDAMAIAN DUNIA”, kami akan mengawali penjelasan pemilihan tema simposium Pertemuan
Penyair Nusantara (PPN) X Banten ini dengan sebuah puisi yang telah ditulis
beberapa abad silam oleh seorang pujangga masyhur: “Anak adam satu raga satu
jiwa, tercipta dari muasal yang sama. Jika satu anggota ummat manusia terluka,
semua akan merasa terluka. Engkau yang tak berduka atas luka manusia, tak layak
menyandang nama manusia.” (Sa’adi dari Persia)
Kenapa Puisi untuk Perdamaian
Dunia? Sesungguhnya tidak mudah untuk menjawab pertanyaan yang menjadi tajuk
tulisan ini: sebuah pertanyaan yang memang lebih diniatkan sebagai
‘permenungan’ saya sendiri tentang apakah sastra, utamanya puisi, memang
memiliki kapasitas untuk melibatkan diri secara politis terkait isu-isu politik
global. Tetapi saya ingin memulai tentang Suriah. Sejak tahun 2006, yang
merupakan rekayasa politik Amerika dan rekan-rekan Baratnya, benih-benih
konflik di Suriah mulai merebak. Mulanya memang hanya demonstrasi-demonstrasi
yang digerakkan oleh LSM-LSM yang ‘diagitasi’ oleh Amerika dan rekan-rekan
Baratnya, seperti Israel, dalam rangka menciptakan ketidakstabilan di Suriah,
yang dengan ketidakstabilan itu akan tercipta kegoncangan pada pemerintahan
Suriah. Namun, setelah itu, muncul-lah kelompok ISIS, yang juga didanai dan
diciptakan Amerika bersama rekan-rekan Baratnya, terutama sekali Israel dan
Ingris, yang menyerukan kepada ummat Islam untuk memerangi Pemerintah Suriah.
Suriah pun bermandikan
darah selama bertahun-tahun, bahkan hingga saat ini pun, belum sepenuhnya dapat
dikatakan telah mereda. Di sini, saya ingin berbicara tentang betapa keji dan
buruknya praktek perang beserta dampaknya. Ribuan rakyat Suriah pun kemudian
mengungsi, dan cerita mereka yang menjadi para pengungsi itu tak kalah
mengenaskan dengan mereka yang menjadi korban perang di dalam negeri Suriah.
Sebelumnya hal serupa terjadi di Libya, ketika kekuatan Amerika dan aliansinya,
seperti NATO, menggempur negeri itu, yang berujung pada wafatnya Muammar
Khadafi di tangan para pemberontak Libya, yang juga lagi-lagi, didanai dan
digerakkan oleh kekuatan Amerika dan rekan Baratnya. Lalu kemudian meletus lagi
konflik dan kekerasan di Myanmar, tepatnya yang menimpa etnik Rakhine. Bukankah
hanya manusia yang tidak punya nurani dan intelek yang tak merasa prihatin
dengan penderitaan sesama manusia?
Namun saya percaya, kita
sebagai para penyair, yang dalam konteks ini adalah kawan-kawan sejawat di Asia
Tenggara, setidak-tidaknya memiliki simpati, dan kalau bisa, membuktikkan
kepedulian kita dalam bentuk aksi nyata, untuk turut menyuarakan penolakan kita
terhadap praktik-praktik kekerasan dan penindasan atas sesama manusia. Tentu
juga, saya sengaja mengawali tulisan ini dengan salah-satu puisinya Sa’adi,
pujangga masyhur dari Persia itu, karena puisi itu memang kontekstual sekali
dengan keadaan dunia dan kenyataan ‘politik global’ sekarang ini, di mana
perang yang menggunakan tekhnologi perang, justru hanya menunjukkan ‘kekejian’
dan ‘kebiadaban’ manusia yang ternyata melampaui binatang yang mereka
konotasikan dengan keburukan. Sa’adi, tentu juga, tak sekadar menulis puisi,
tapi lebih dari itu, ia adalah filsuf, seorang pujangga, yang telah menyadarkan
kita bagaimana menjadi manusia, menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya.
Tak hanya Suriah, Libya,
dan Rakhine, tetapi juga Yaman yang mengalami nasib serupa: digempur dan
diperangi oleh ‘Blok Barat’, ketika Amerika dan Israel menggunakan aliansi
kekuatan Rezim Saudi untuk ‘menghancurkan’ Yaman, dan ummat Islam diadu-domba,
mulai dari isu sektarian yang disebarkan melalui media-media propaganda Amerika
dan rekan-rekan Baratnya, hingga ‘agama’ yang dijadikan legitimasi penghasutan
untuk upaya proxy war, semisal dengan isu Syi’ah-Sunni. Sungguh kita hidup di mana
media dan bahasa telah dijadikan alat ‘pemuas’ demi keuntungan konglomerasi dan
ambisi-ambisi kekuasaan mereka yang menghalalkan darah ditumpahkan demi
tercapainya tujuan dan target ekonomi-politik mereka. Di Suriah, sebagai
contoh, dihembuskan dengan sedemikian kencang fitnah-fitnah sektarian agar
terjadi benturan dan perang di antara sesama rakyat Suriah, selain orang-orang
non Suriah, semisal anggota-anggota ISIS dari ragam negara Eropa dan kawasan
lainnya, yang sengaja didatangkan untuk membuat kekacauan di Suriah.
Kita percaya, kepenyairan
tak dapat dilepaskan dari sikap kita pada hidup dan kehidupan, sebagai bentuk
komitmen kita kepada sejarah dan kemanusiaan. Dan karena komitmen kita pada
sejarah dan kemanusiaan itulah, kita pun tak dapat menafikan konektivitas dan
solidaritas kita kepada sesama manusia di segala penjuru bumi, yang salah-satu
bagian bumi itu menjadi tempat kita hidup, mencari nafkah, dan tentu saja
menulis puisi. Di tengah merebaknya konflik,
kekerasan, dan perang di sejumlah negara dan kawasan seperti yang telah
disebutkan, sudah sepatutnya mendapatkan empati, kepedulian, dan sikap dari
kita sebagai penyair. Sesungguhnya puisi dapat menjadi media dan jembatan yang
strategis untuk menyuarakan pandangan dan kepedulian kita untuk menyikapi
sejumlah konflik dan perang di belahan dunia ini dalam rangka mengumandangkan
welas-asih dan melantangkan suara-suara kemanusiaan. Kita perlu menyuarakan
keprihatinan dan sikap kita terhadap banyak kekerasan dan perang.
Terkait hal itu, saya
hendak memberikan ilustrasi kedua, sekedar sebagai peminjaman perspektif sikap
dan wawasan. Sebelum meninggal, Annemarie Schimmel menulis puisi (yang mirip
dengan puisinya W.B. Yeats yang berjudul Aedh Menggelar Kain dari Surga): “Sang
pencinta, menenun satin dan brokat dari air mata, duhai sahabat, agar dapat
menghamparkannya suatu hari, di bawah telapak kakimu...dan aku menenun sutera
kata-kata yang selalu baru hanya untuk menyembunyikanmu.” Tepat sekali
sebagaimana ilustrasi di atas, bahwa bahasa, dapat melahirkan kebajikan
sekaligus dapat dijadikan sebagai senjata keburukan, semisal dapat digunakan
untuk mengungkapkan cinta dan persahabatan sekaligus dapat digunakan untuk
menyebar fitnah dan dusta.
Di musim semi 1996,
Annemarie Schimmel sang sarjana berdedikasi dan perempuan berjiwa pejuang,
perempuan berperawakan mungil itu, menjadi satu-satunya pusat perhatian dalam
pertemuan yang dihadiri para penulis, penerbit, dan pejabat tinggi Jerman,
termasuk Presiden Roman Herzog. Saat itu ia berbicara tentang kata. "Kata
yang baik laksana pohon yang baik...”, demikian dia mengutip Al-Quran.
"Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di
dunia; katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia
sebagai titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada yang teraniaya, terfitnah,
atau terbunuh oleh kata-kata," demikian paparnya.
"Kata memiliki
kekuatan yang tak dapat kita ukur. Dan pada kekuatan kata inilah terletak
tanggung jawab para penyair, lebih-lebih lagi para penerjemah, karena satu
kesalahan samar saja dapat memicu kesalahpahaman yang berbahaya." Betapa
bahasa, yang didalamnya adalah puisi, dalam kehidupan manusia adalah ‘ruh’ dan
‘jiwa’ kehidupan manusia itu sendiri, dan karena itu pula betapa pentingnya
‘bahasa’ dan kata-kata dijaga dari upaya-upaya untuk menjadikannya sebagai alat
destruksi dan menjadi media-media kezaliman dan praktik-praktik tidak kreatif
yang akan ‘melukai’ kemanusiaan manusia. Secara khusus, kita perlu mendorong
para pemimpin di Asia Tenggara untuk berada di garda depan dalam mengupayakan
TERCIPTANYA PERDAMAIAN DUNIA. Inilah dasar ditetapkannya tema PUISI UNTUK
PERDAMAIAN DUNIA di perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X di Banten,
Indonesia, 15-17 Desember 2017.
Kami berharap para
narasumber dapat menyumbangkan pemikiran dan pandangan konstruktif dan
inspiratif terkait bagaimana kita, para penyair, dapat berperan untuk
menciptakan kemungkinan bagi sejarah dan jalan kemanusiaan yang berlandaskan
spirit perdamaian dunia dalam kaitannya dengan kerja kepenulisan dan kebudayaan,
sebagai bentuk komitmen kita pada sejarah dan kemanusiaan itu sendiri sebagai
para penyair dan sebagai bagian dari ummat manusia. Bahwa barangkali, ada suatu
jalan yang mungkin justru lebih bermakna dan lebih strategis disuarakan oleh
para sastrawan ketika para politisi, meski tidak semuanya, terlalu lempang
dalam arah pragmatis oportunis, sehingga tak imun dari kontaminasi.
Kita akan membicarakan
adakah tesis yang dapat kita buktikan bahwa puisi memiliki peran, misalnya,
yang sifatnya propagandis dan politis untuk meminimalisir laku destruktif,
kebencian, kekerasan dan yang sejenisnya? Benarkah bahwa puisi dapat menjadi
media bahkan instrument pembentuk karakter bagi laku humanistik yang bajik?
Kami berharap para narasumber dapat memberikan pandangan dan sumbangsih pikiran
dan perspektif masing-masing terkait masalah ini, masalah apakah puisi memang
memiliki nilai intrinsik dan fungsi yang demikian?
Salam dan terimakasih!
Sulaiman Djaya, Panitia Pengarah PPN X Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar